Video Bokep di Chanel Telegram Pribadi: ASUPAN BOKEP INDO
Bandung tak pernah benar-benar tidur, terutama bagi mereka yang hidup di antara bayang-bayang lampu jalan dan lintasan sirene patroli malam. Di kota yang sesak oleh cerita, Raka menemukan dirinya kembali menjejakkan kaki di halaman kantor Polsek, kamera tergantung di leher, tas selempang berisi catatan dan baterai cadangan. Sudah hampir dua pekan ia bolak-balik ke sana—tidak hanya karena berita kriminal yang makin ramai, tapi juga karena satu sosok yang kini menghantui pikirannya melebihi segala kabar panas: Siska, polwan muda dengan kesan centil yang selalu bersembunyi di balik kedisiplinan tugasnya.
Siska memiliki wajah yang tak pernah benar-benar biasa: matanya teduh tapi selalu menyimpan gelak nakal; rambut hitam yang selalu terikat, tapi beberapa helai dibiarkan membingkai wajah dan jatuh genit di pelipis. Raka bertemu dengannya untuk pertama kali di ruang tunggu Polsek, saat ia menunggu info berita dari Kanit. Siska yang sedang berjaga menyapanya sekilas, menawarkan kopi dan, tanpa sengaja—atau memang sengaja—menempelkan telapak tangan hangatnya di bahu Raka, mengusir dingin pagi.
Waktu berjalan dan pertemuan mereka menjadi semakin sering. Raka selalu punya alasan baru untuk mampir: follow-up kasus penipuan, konfirmasi nama pelaku pencurian, atau sekadar basa-basi bertanya kabar di ruang jaga. Siska menangkap gelagat itu, lalu membalas dengan tatapan setengah malas—setengah memancing. Kadang, ia melontarkan candaan kering di sela tugas, dan kadang lirikan matanya menari-main, menyuarakan banyak hal yang tak perlu dilafalkan. Mereka sama-sama tahu, di antara laporan, sprocket kamera, dan notulen, ada sesuatu yang lebih liar, lebih pribadi, yang tumbuh di luar jangkauan nalar.
Malam itu, hujan turun deras di Bandung. Siraman air membaurkan suara peluit dan desing sepeda motor di kejauhan. Raka sembunyi di bawah atap kecil pos penjagaan, menggigil, ketika Siska muncul—seragamnya setengah basah, payung dinas meneteskan bulir air. Ia tersenyum kecil.
“Kenapa nggak sekalian masuk kantor saja?” goda Siska, menyodorkan kopi panas.
“Di situ banyak polisi galak, kalau di sini ada satu saja yang centil, sudah cukup bikin hangat,” balas Raka, setengah berbisik.
Siska duduk di sebelahnya, betis bersisian, sepatu bot beradu dengan sneakers lusuh milik Raka. Kota terasa jauh lebih sunyi di tengah deras hujan. Wangi kopi, parfum yang samar terselip di balik aroma seragam basah, dan suara napas menandai betapa rapuh batas profesional yang selama ini mereka jaga.
Raka, dengan gerakan pelan, menyorongkan kamera ke arahnya. Bukannya menolak, Siska justru membenarkan ikat rambutnya, mengangkat dagu—centil tapi menantang. Klik—gambar pertama diambil. Mata Siska terlihat lembut dalam siluet cahaya pinta lampu jalan, bibirnya sedikit bergetar.
“Kamu suka difoto, Sis?”
“Asal sama yang niat, hasilnya pasti beda...” Suaranya nyaris berbisik.
Mereka saling menatap lama. Dalam ruang sempit pos jaga itu, ketegangan menari seperti kabut tipis di remang malam. Raka menurunkan kameranya, jemari deras mengusap setetes air hujan dari pelipis Siska. Siska tak mundur. Nafas mereka mulai bersinggungan—saling mencari irama dalam kantuk dan desir hujan. Bibir Raka berhenti hanya sedepa dari kulit pipi Siska yang basah. Untuk sepersekian detik, semuanya terasa mungkin: pelanggaran itu, kehangatan menit-menit yang tak terulang.
Beberapa hari setelahnya, mereka bertemu lagi, kali ini bukan di kantor Polsek, tapi di sudut taman kota. Ada pameran foto jurnalistik. Raka menjadi salah satu pengisi, dan Siska datang—tanpa seragam, rambut dibiarkan terurai, wajah segar tanpa riasan apa pun. Malam meluruh dalam obrolan panjang, canda, dan langkah pelan—dua insan yang seolah lupa dunia di sekitarnya.
“Apa rasanya hidup tanpa seragam?” tanya Raka, setengah bercanda, setengah serius.
Siska tertawa, tubuhnya menggeliat ringan seperti pohon yang dihampiri angin sore. “Ingatanku jadi lebih bebas. Tapi, kadang aku kangen aroma sabun cuci seragam dan debu di sepatu bot.”
Lalu, di antara deretan foto hitam putih, Raka menggenggam jemari Siska. Jemari yang dulu menulis laporan, kini terasa ringan dan lentur di sela jarinya. Mereka berjalan bersama ke sisi taman yang remang, duduk di bangku kayu basah. Raka merapatkan jaketnya ke bahu Siska, lalu membiarkan kepala gadis itu bersandar lembut di pundaknya.
Waktu berjalan tanpa terasa; di bawah rindang pohon dan angin malam, ciuman itu datang. Tak gaduh, tak gegas, tapi perlahan seperti embun menyapu bibir dedaunan. Mekar dan meneduhkan, di sana kehangatan tumbuh tanpa perlu diucap. Mulut Siska manis seperti kopi sachet yang mereka bagi, nafasnya menghangatkan seisi taman yang seharusnya sepi.
Pelukan singkat berubah menjadi keakraban yang enggan dilepas. Dalam dekapan, Raka merasa Siska semakin lebur; seragam polisi, garis tegas di matanya, larut jadi lembut ketika ia mengadu kepala di dada Raka.
Malam-malam berikutnya, batas antara rasa dan tugas makin tipis. Pernah, di ruang interogasi yang tiba-tiba sepi sehabis shift jaga—kursi-kursi kosong, lampu kuning membuat bayangan panjang—Siska mendorong pintu diam-diam dari belakang. “Ada yang mau diinterogasi,” candanya, napas samar di telinga Raka.
Lampu di atas meja menyinari wajah Siska separuh gelap. Di situ, lirikan matanya lebih tajam dari berkas kasus pencurian, cengkeraman jarinya di pundak Raka tidak lagi sekadar bersandiwara.
“Berani enggak melanggar aturan satu malam saja?” Tanya Siska, matanya setajam sinar X-ray; bukan mengancam, tapi merayu.
Dalam ruang pengakuan yang biasanya penuh tekanan, malam itu jadi altar rahasia dua hati yang saling ingin. Ciuman pertama datang seperti patuh pada kode etik sunyi—tak pernah gaduh, sekilas tapi menyala. Raka membalas, bibir mereka bertumbukan dalam tarian bisu, hangat dan pelan, bagaikan surat rahasia yang hanya mereka baca.
Seragam bertahan hanya sebagai simbol; kenyataan dan hasrat menari di sela derap napas larut malam. Jemari Raka membelai garis rahang Siska, menelusuri pelipis, mengumpulkan sisa-sisa air hujan dari rambutnya. Siska menutup mata, membiarkan dirinya mengapung—seperti balon udara lepas landas, ringan dan bebas.
Ia pergi menutup pintu ruangan itu. Lalu dia kembali ke tempatku duduk, kembali memeluk aku yang sudah betul-betul panas dingin.Mau nggak kayak gitu?? setengah berbisik Siska nanya didekat telingaku, seluruh badanku jadi merinding.Bibirnya ditempelkan ke telingaku. Anjrriiiiittttt, aku gak bisa ngomong apa-apa.
Tanpa menunggu jawabanku tangannya menarik tangan kiriku, ditempelkan ke toketnya. Gak terlalu besar sih, tanganku dibimbing untuk membuat gerakan mengusap dan meremas. Setelah aku bisa gerak sendiri, tanganku dilepaskan. Kemudian tangan kanan Siska menelusup kedalam kaosku, meremas dan memilin-milin putingku. Badanku kayak kejang semua jadinya. Mas, mau kan sama Siska? Satu malam ini aku milikmu masss suaranya mendesah ditelingaku. Mulutnya memagut bibirku, lidahnya liar masuk kemulutku.
Sementara aku mendesah-ndesah keenakan (pengalaman pertama) tanganku semakin aktif meremas toketnya. Tangan Siska kemudian membuka beberapa kancing baju dinasnya, ehhh ternyata masih ada kaos dalam. Kaos dalam dia sibakkan ke atas, kemudian BH juga dia sibakkan ke atas. Tanganku ditarik lagi buat meremas-remas toketnya, aku mulai bersemangat. Tangan Siska menelusup ke celanaku, kontolku yang udah bengkak diremas-remas, ahhhhhh. Ubun-ubun kayak mau meledak.
Sementara Siska terus memagut seisi mulut dan lidahku. Perlhan kaosku dinaikkan keatas, bibir Siska kemudian pindah menjelajahi dadaku. Lidahnya menjilati putingku. Huuuuuhhhhh, sambil sesekali terasa gigitan-gigitan kecil yang sering bikin aku kaget. Terasa seluruh dadaku disapu lidahnya.., rasanya nyaman-nyaman gimana gitu, lidahnya mulai turun menjilati pusarku. Karuan aja aku mengelinjang kesana-kemari. Perlahan tangannya membuka risluting celanaku, diturunkan sebatas lutut. Didalam cd, kontol ini mulai terasa berdesir-desir, sementara Siska dengan buas menciumi batang kejantananku.
Tak lama kemudian, cd ku dilorotkan sebatas lutut juga. Mas, burungnya lumayan besar ya.. emmm. sambil tangannya mengelus dan meremas-remas batangku. Uhhhh, emang besar ya mbakkk??? tanyaku sambil merem melek. Nggak terlalu besar sih, tapi pas segini nih. Siska menjawab sambil tangannya mulai mengocok batangku. Massss., burungnya aku emut yaa?? lya mbak Aku udah gak konsen, Siska lalu mulai mengulum kepala dan batang burungku pelan-pelan.
Lembut banget, tangan kananku dengan gemas meremas-remas rambutnya yang pendek, rapi dan hemmmm., sangat wangi. Dan tangan kiriki meremas toket dibalik baju dinasnya, kenyal banget. Semakin lama kulumannya semakin cepat, aku semakin menggelinjang dan kelojotan. Ohhhh, Wii.., Siskaii.., sudahhhh, sudahhh, aku nggak tahannnnn, aku menceracau sejadi-jadinya. Baru pertama kali diemut, sama cewk manis lagi. Wahhhh betul juga, pangkal batangku mulai terasa senut-senut. Siskaii.., ohhh gak tahan mbakkk senut-senutnya semakin kencang dan akhirnya terasa ada sesuatu menggelegak crottt.., crottt. Spermaku keluar didalam mulut Siska. Tapi.., aduhhhh Siska nggak melepas batang burungku, tetap dikulum-kulum dan disedot. Terasa bukan nikmat yang sekarang, tetapi jadi geli gak tertahan. sudah mbakkk, geli aku.. sambil tanganku berusaha melepas kepala Siska dari burungku. Tak berapa lama ia melepas mulutnya dari burungku, uhhhhhh. Seluruh badan lemas serasa tak bertulang. Siska tersenyum melihatku, kulihat mulutnya sedikit mengecap-ngecap. Ehhh mbak, spermaku mbak telan ya?? tanyaku. lya, nggak papa kok. Sehat tuh, rasanya emang agak asin sihh. Lagian daripada nyemprot kemana-mana, bisa kena macem-macem tuhh. Siska menjawab sambil tersenyum genit.
Tangannya mulai bergerilya lagi mengejar batang burungku yang sudah mulai mengkerut. Dipegang dan mulai dielus lagi, aku masih menggelinjang geli, tapi lama-lama mulai terasa hangat dan nikmat lagi. Mulutnya kembali memagut mulutku, kami berciuman dengan ganas. Aku mulai bisa mengimbangi permainannya. Mas, setelah ini giliranku yang dikasih kenikmatan ya? sambil nafasnya mulai tersengal-sengal. Ya mbak, aku puasin mbak dehh tanganku dibimbing untuk ikut melepas celana dinas coklat miliknya.
Aku plorotkan hingga sebatas lutut. Tampak celana dalam warna hitam yang menutupi gundukan. Nggak sabar sekalian aku plorotin celana dalamnya. Terlihat jembut tebal menghiasi gundukan daging. Tanganku mulai mengusap dan berusaha menyibak jembutnya, mencari sesuatu seperti yang ada di situs-situs porno. Dengan lembut tangan Siska membimbing tanganku, dan mengarahkan mulutku kea rah memeknya. Cuma karena celana Cuma dilorot sebatas lutut, maka agak sulit untuk sampai ke memeknya. Akhirnya lidahku dapat menjangkau memeknya, kujilat dikit-dikit dan terasa agak basah (hihihi, agak bau keringat ya.., nggak papa).
Siska mulai mendesah lirih, aku tambah ritmenya. Masss, ayo masukin aja ya, udah nggak tahan nih.. Siska bersuara lirih. Ya mbak Aku kembali berdiri dan bersiap dengan burungku. Tapi aku kebingungan, dengan posisi celanaku yang sebatas lutut dan Siska yang juga sama kami berdua keliatannya sama-sama bingung. Mbak, masukinnya gimana nih?? Ehh.., iya ya mas., gimana kalau dari belakang saja? Aku agak nungging ya. Ya deh.., terserah mbak.
Aku masih bingung nih.. Lalu Siska berbalik dan posisi merangkak, kedua pahanya direnggangkan sehingga memeknya sedikit tampak membuka. Sini mas, masukkan, tusuk ke yang sini yaa tangannya menjangkau dan memegang batangku, ditarik pelan-pelan kearah lubang memeknya yang agak basah. Sebentar kemudian, kepala burungku digesek-gesekkan ke memeknya, nikmat sekali. Aku mulai sedikit mendorong batang burungku kelubang memeknya.
Pelan-pelan, batangnya mulai ambles kedalam memek. Tanganku mulai meremas-remas pantat Siska. (gila, bulat banget nih pantat polwan, kenceng banget lagi. Banyak olahraga kali ya?). Terkadang tanganku menyusup kedalam baju dinasnya dan meremas-remas toketnya serta memilin putting susunya. Siska mendesah-ndesah keenakan. Gimana masss??? Enakkk? terus mas maju mundur aja. Ya mbak, enak.
Mbak seksi banget yahh, udah langsing pantatnya montok lagi pujiku jujur. Ahhh mas, bisa aja. Burung mas juga enak kok, kuat banget, padahal baru keluar habis-habisan lho tadi godanya genit. gimana mas perasaannya nggoyang polwan??Ehhh, agak deg-degan juga sambil pinggulku memaju mundurkan batang didalam memeknya. Sambil mataku lihat jam dinding, 22.30. tanganku semakin familiar dengan lekuk-lekuk tubuh Siska. Pundak Siska kemudian merendah, pantatnya sekarang benar-benar nungging, nafasnya mulai memburu tak teratur.
Ahhhh mass, enakkkkk, terusss badannya mengeliat-geliat, sesekali tampak pantat bulatnya mengejang. ohhhh. Ohhhhh.., ahhhhhhhh Tampak seluruh badan Siska mengejang beberapa saat dan kemudian mengendur pelan-pelan. Aku dah orgasme mass., ayo mas terus aja sampe keluar matanya sayu tapi mengerling manja ke arahku. Mau ganti gaya ya mas?? Spooning aja ya? Mas pasti tau dehh yukk. Ya mbak aku pelan-pelan rebah bersama Siska. Posisi spooning sekarang, aku peluk Siska dari belakang sambil sku sodokkan burungku berulang-ulang dan sekuat tenaga. ahh, ahhh, ahhh Siska menjerit pelan, aku terus memompa.
Ahhhh mbakkk, akuu keluarrrrr tubuhku mengejang dan crott crottt. Spermaku keluar untuk kedua kalinya Pelukanku ke Siska bagai mencengkeram sampai Siska sepertinya sulit bernafas. masss., puas ya ucapnya lembut dan manja, aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Aku melirik jam dinding.., sudah jam 23.15. Ada apa sih mas, kok lihat jam??? Nggak suka ya? Siska merengut. nggak mbak.., tapi udah hamper jam setengah dua belas, temenku yang aplusan jaga bentar lagi dating jelasku. Ohhh kirain.. senyumnya manja kemudian kepalanya menoleh ke wajahku dan mulai memagut mulutku lagi. ya udah, kita beres-beres dulu yuk. Aku melepas batangku yang mulai lemas dari Makasih ya mas sambil dia merapikan kembali seragam polwannya. Merapikan lagi rambutnya yang pendek, aku suka sekali melihatnya.
Mbak cantik banget dehhh. ahhh mass., makasih juga. Sama-sama, aku juga sangat menikmati ini kok. Kalau bisa lain kali kita ketemuan lagi, aku percaya kamu kok balasnya masih dengan nada manja. Beberapa minggu setelah itu Siska bercerai dengan suaminya. Hubunganku dengan Siska hingga tahun 2012. Tahun itu Siska udah punya suami baru, seorang perwira polisi. Aku ndak berani ketemuan lagi, dan Siska kayaknya sekarang betul-betul sayang sama suaminya. Aku turut bersyukur saja.
0 Komentar