Sudah dua tahun aku tinggal di rumah kecil pinggir kampung ini. Jalanan tanah merah, suara jangkrik di malam hari, dan angin yang membawa aroma sawah basah selepas hujan selalu jadi pemandangan harian. Tapi ada satu hal yang membuat tempat ini tak sekadar rumah bagiku — sosok perempuan bernama Laila.
Dia tinggal di rumah sebelah, dengan pagar kayu tua yang mulai rapuh termakan usia. Seorang janda, ditinggal suaminya setahun sebelum aku pindah. Wajahnya cantik, teduh, dengan mata yang menyimpan cerita yang tak bisa ditebak.
Setiap sore, aku melihatnya menyapu halaman. Rambut hitam panjangnya diikat sederhana, kadang lepas terkena angin. Ada senyum tipis yang selalu ia lemparkan saat mata kami bertemu. Awalnya aku hanya membalas dengan anggukan kecil, sampai suatu hari, senja mempertemukan kami lebih dekat.
Saat itu, hujan turun tiba-tiba. Aku yang sedang membetulkan jemuran terburu-buru mengangkat pakaian saat suara halus menyapaku.
“Mas, titip handuk anak saya dong. Jemuran saya belum sempat diangkat,” katanya dari balik pagar.
Aku mengangguk, tanpa banyak kata. Handuk warna biru muda itu basah kuyup, tapi aku tetap membawanya ke teras rumah Laila. Dia membuka pintu, dengan senyum yang entah kenapa langsung membuat dadaku hangat.
“Makasih ya, Mas… Maaf merepotkan.”
Sejak hari itu, obrolan kecil kami jadi rutinitas. Tentang hujan yang tak menentu, harga beras yang naik, sampai soal anak semata wayangnya, Raka, yang baru masuk SD.
Laila adalah perempuan sederhana, tapi ada ketegaran di balik matanya. Bagaimana dia membesarkan Raka sendirian, mengurus kebun kecil di belakang rumah, dan tetap bisa tersenyum di tengah segala keterbatasan.
Aku tak pernah berniat jatuh cinta. Hidupku terlalu biasa, pekerjaanku hanya tukang servis elektronik di pasar. Tapi tiap kali melihat Laila, ada sesuatu di dada yang sulit dijelaskan. Mungkin karena caranya memanggil namaku dengan nada pelan, atau tatapannya saat senja jatuh di antara ranting-ranting pohon jambu di halaman.
Suatu malam, listrik kampung padam. Gelap gulita, hanya suara malam yang terdengar. Aku duduk di teras sambil merokok, ketika Laila datang menghampiri, membawa dua cangkir kopi.
“Saya bikinin kopi, Mas. Daripada sendirian di gelap,” katanya.
Kami duduk berdua, ditemani nyala lilin kecil. Obrolan mengalir begitu saja. Tentang masa lalu, tentang rindu, tentang kesepian.
“Dulu saya pikir hidup saya bakal berakhir waktu suami saya meninggal,” ucap Laila, lirih. “Tapi ternyata, hidup tetap jalan. Kadang memang gelap, tapi ada orang-orang baik yang bisa bikin terang lagi.”
Aku diam. Jantungku berdetak cepat. Entah dari tadi aku ingin bilang sesuatu, tapi lidah rasanya kelu.
“Termasuk Mas Dika,” tambahnya pelan.
Malam itu, aku hanya bisa menatap matanya. Ada luka, tapi juga harapan di sana. Dan tanpa sadar, tanganku menggenggam jemarinya. Hangat, sedikit gemetar, tapi tak saling melepas.
Waktu berjalan. Sejak malam itu, hubungan kami lebih dekat. Raka mulai akrab memanggilku “Om Dika”. Aku sering membantu memperbaiki pagar rumahnya, memetik mangga di kebun belakang, atau sekadar duduk di teras menikmati senja bersama.
Orang kampung mulai berbisik, tapi aku tak peduli. Laila pun begitu. Kami terlalu nyaman menikmati waktu tanpa harus banyak menjelaskan.
Sampai suatu sore, di bawah pohon jambu yang rindang, aku memberanikan diri.
“Laila…”
Dia menoleh, menunggu.
“Kalau aku minta izin buat jagain kamu sama Raka… seumur hidup, kamu mau?”
Sejenak dia diam. Wajahnya memerah, mata berkaca-kaca.
“Saya… nggak pernah nyangka bakal ada orang kayak Mas Dika di hidup saya. Saya mau…”
Pelan, senyum itu kembali muncul. Senyum yang pertama kali kulihat dari balik pagar dua tahun lalu. Tapi kali ini, tak ada lagi pagar di antara kami.
Malam itu, di atas sofa
Hujan turun pelan di luar, mengetuk-ngetuk jendela seperti ingin jadi saksi atas sesuatu yang tak terucap. Di ruang tamu kecil itu, hanya ada suara detak jam dinding dan hembusan napas kami yang saling bersahutan.
Aku duduk di sisi sofa, sementara Laila — atau yang biasa dipanggil orang kampung Tante Lala — duduk tak jauh dariku, membawa secangkir teh hangat. Aroma melati dari tehnya bercampur dengan wangi tubuhnya yang sederhana, tanpa wewangian mahal, tapi lebih memabukkan dari apa pun yang pernah kuhirup.
“Udah malam, Mas. Mau nginap sini aja?” katanya pelan.
Aku menoleh. Matanya teduh, tapi ada kilau tak biasa. Malam itu, dia bukan hanya seorang perempuan yang kesepian, tapi juga seseorang yang ingin merasakan kembali hangatnya kebersamaan, setelah sekian lama hidup dalam sunyi.
Aku mengangguk.
Tanpa banyak kata, dia bangkit, menarik tirai tipis yang menutup jendela, lalu duduk kembali, kali ini lebih dekat. Jarak di antara kami seperti kabut tipis yang sebentar lagi akan hilang dihempas angin pagi.
Tangannya menyentuh jemariku. Hangat. Lembut. Seperti embun yang pelan-pelan jatuh di ujung dedaunan.
“Saya cuma butuh ditemani malam ini, Mas… Nggak lebih,” ucapnya nyaris berbisik.
Aku menggenggam tangannya, menatap matanya yang sembab oleh sisa-sisa kisah masa lalu. Tak ada kata, hanya desahan napas yang tak sengaja berirama. Malam itu, waktu seakan berjalan lebih lambat.
Di ruang itu, lampu redup menjadi saksi bagaimana dua hati yang lama sepi akhirnya saling mendekap dalam diam. Bibir kami bersua, perlahan, tanpa paksaan, seperti dua aliran sungai yang akhirnya menemukan muara.
Aku bisa merasakan tubuhnya sedikit gemetar saat aku memeluknya. Bukan ketakutan, tapi getar perasaan yang sudah terlalu lama dikekang. Jemarinya menyusuri lenganku, mencari tempat bersandar.
Malam itu, hujan di luar semakin deras. Dan kami, di atas sofa tua itu, larut dalam kehangatan yang tak perlu dijelaskan lewat kata.
Berbagi Cerita dan Cinta
Malam itu, di atas sofa ruang tamu rumah Tante Laila, hanya lampu temaram dari sudut ruangan yang menjadi saksi bisu. Aroma kopi yang mulai mendingin bercampur harum lembut parfum mawar di lehernya. Kami duduk berdekatan, awalnya berbagi cerita tentang masa lalu yang entah mengapa selalu terasa lebih manis jika diingat saat malam tiba.
“Dulu, waktu Om masih ada, aku sering begini. Duduk di sini, sambil dengerin lagu pelan,” ucap Laila, matanya menerawang ke jendela. Aku hanya mengangguk, tak ingin memutus suasana.
Tanpa kusadari, jarak di antara kami kian sempit. Detik-detik itu seperti disusun oleh waktu yang licik, memaksa dua hati yang lama menyimpan luka untuk saling mendekap.
Tangannya menyentuh jemariku, ringan… tapi cukup untuk membuat degup di dada melonjak tak beraturan. Sentuhan itu seperti dedaunan yang saling bersentuhan ditiup angin senja — tak bersuara, tapi menggetarkan.
Aku menatap wajahnya. Ada cahaya redup di matanya, seperti bulan yang bersembunyi di balik awan, malu tapi ingin dipandang.
Lalu, perlahan tanpa kata, bibir kami bertemu. Rasanya bagai dua kelopak bunga yang bersua di ujung tangkai, saling menitipkan rasa yang lama terpendam. Ciuman itu tak gegas, seperti air yang merambat di celah bebatuan, pelan tapi pasti membasahi relung hati.
Saat pelukannya melingkar di leherku, aku membalas, membiarkan tubuh kami larut dalam pelukan yang menyerupai laut memeluk ombaknya — tak pernah tahu mana ujung, mana pangkal. Napas kami berpadu, bagai kabut yang menyelimuti lereng-lereng sepi.
Aku bisa merasakan detak jantungnya di dadaku, cepat dan liar, seperti kuda yang lepas dari kandang. Dan malam itu, tanpa komando, kami hanyut dalam tarian bisu — gerak yang tak butuh irama, hanya diiringi desir angin dan bisikan malam.
Laila menggenggam tanganku lebih erat, membawaku ke sudut ruang, di mana cahaya tak terlalu banyak menelanjangi rahasia. Kami bersandar, tubuhnya merebah bagai daun yang akhirnya rela jatuh ke pelukan bumi.
“Jangan pergi malam ini,” bisiknya, suaranya lirih seperti embusan angin yang memanggil dedaunan di kejauhan.
Aku mengangguk, merengkuhnya sekali lagi. Malam itu kami melebur, bagai hujan yang akhirnya menemukan tanah setelah lama di langit. Tak ada kata-kata, hanya isyarat, desah, dan denting waktu yang memudar perlahan.
Detik-detik berlalu seperti pasir di genggaman tangan — tak bisa dicegah, tak bisa ditahan. Sampai akhirnya, kami terdiam, saling bersandar, membiarkan sisa-sisa gelombang itu mereda dalam dekap yang panjang.
Dan saat fajar menjelang, hanya harum tubuhnya yang masih tinggal di pelukanku, menyisakan jejak malam yang tak ingin segera aku lupakan.
#ceritaromantis #cerpen #ceritaasmara #kisahcinta #romansahabat #cintasejati #ceritacinta #novelromantis #cintadalam #ceritapenuhmakna
0 Komentar