Jakarta terasa berbeda malam itu. Udara lembap menempel di kulit, dan lampu kota yang redup menciptakan bayangan-bayangan menggoda di ruang tamu. Tante duduk di sofa, tubuhnya terpancar aura memikat di balik gaun rumah pendeknya yang nyaris tak mampu menahan lekuk tubuhnya.
"Aku olahraga di Tebet Timur Dalam," bisiknya, suaranya seperti belai sutra.
Aku duduk di sebelahnya, jarak antara kami tipis, hampir tak ada. Gaun tanpa lengannya memperlihatkan bahu putihnya yang halus, menggoda untuk disentuh. Kancing-kancing yang terpasang longgar membiarkan sekilas pemandangan di baliknya—kulit lembut yang membuat napasku tersengal.
"Tidur siang hari ini, Tante?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiran dari tubuhnya yang memanas.
Dia tersenyum, matanya berbinar. "Tidak, sayang. Aku main voli tadi sore."
"Voli?" Aku menghela napas, membayangkan tubuhnya yang lentur melompat di lapangan. "Pasti seru."
"Kau juga suka voli?"
Aku mengangguk, tapi pikiranku sudah melayang ke tempat lain. Setiap gerakannya membuat gaun itu bergeser, membuka sedikit demi sedikit paha putihnya yang mulus. Kancing terakhir sudah terbuka, dan saat dia menyilangkan kaki, kain itu menyingkap lebih banyak—paha bagian dalamnya yang halus, menggoda.
Sementara dasternya nampak terbuka, buah putih itu mengintip di antara kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
Darahku mendidih.
"Di kampung, aku sering bantu kebun," kataku, suara serak.
"Oh? Kerja apa saja?"
"Menanam... memupuk... memetik..." Setiap kata terasa berat, karena mataku tak bisa lepas dari tubuhnya.
Dia menggeser posisi, dan kali ini, gaun itu benar-benar tak mampu menutupi apa pun. Pahanya terpapar, kulitnya bersinar dalam cahaya lampu. Aku menelan ludah, merasakan panas mengalir ke bawah.
"Kalau lapar, ambil saja makanan di dapur," bisiknya, tapi aku tahu yang ku"lapar"i bukan makanan.
"Aku tunggu Paman dulu," jawabku, meski yang kuinginkan hanya satu—merasakan tubuhnya yang memikat ini, menyerah pada malam yang panas dan penuh gairah.
Jakarta malam itu terasa pengap, udara lembap menempel di kulit seperti bisikan yang tak terucap. Tante duduk di sofa, tubuhnya terbungkus daster tipis yang lebih mirip selubung godaan daripada pakaian. Kancing-kancingnya tak mampu menahan lekuk tubuhnya—ada yang menganga, ada yang rapat, seolah masing-masing menyimpan rahasianya sendiri.
Celah pertama membiarkan sekilas payudara kirinya yang montok, kulit putihnya bersinar dalam cahaya lampu yang temaram. Celah kedua memperlihatkan tepian kutang berwarna senja, sementara celah ketiga menolak memberi tontonan, tertutup rapat. Tapi justru celah keempat dan kelima yang membuat napasku tersengal—perutnya yang rata, lalu sedikit kilasan merah jambu dari celana dalamnya, sebelum akhirnya kancing terakhir menyerah, membiarkan paha mulusnya terekspos sepenuhnya.
"Sudah siap bantu Tante?" suaranya seperti tetesan madu di tengah malam.
Aku mengangguk, lidah terasa kaku.
Dia bergerak, pinggulnya berayun pelan sebelum akhirnya merebahkan diri di atas karpet. Tubuhnya membentuk lekukan sempurna—pantat yang bulat, pinggang yang menukik, punggung yang melengkung bak bukit kecil. Kaki perlahan terbuka sedikit, dan di antara paha putihnya, warna merah jambu itu kembali mencuri pandang.
Tanganku menyentuh pergelangan kakinya, kulitnya sehalus sutra basah. Setiap jari yang bergerak ke atas meninggalkan bekas kehangatan, dan ketika sampai di betis, bulu-bulu halusnya membuatku ingin menunduk, mengecup setiap inci.
Dia mengerang pelan saat jempolku menyusur belakang lututnya.
"Jangan di situ," bisiknya, "ke atas saja."
Dan aku patuh—tangan bergerak lebih tinggi, mendekati paha, mendekati celah yang memancarkan aroma harumnya. Dadaku berdebar liar, darah mengalir deras ke satu titik yang semakin keras menuntut perhatian.
Malam ini, Jakarta terasa begitu panas.
Dan aku?
Aku hanya bisa menelan ludah, membayangkan betapa nikmatnya jika kancing-kancing itu benar-benar menyerah.
"Di Atas Garis Kusam"
Jakarta malam itu bernafas dalam-dalam, menghembuskan udara yang menggumpal di antara kami. Tante terbaring seperti persembahan—daster sutranya mengalir mengikuti lekuk tubuh, menyerah pada gravitasi, menyingkap lebih banyak daripada yang seharusnya.
"Ke atas," katanya.
Dua kata itu menggantung, ambigu namun terang bagai purnama. Apakah ia bermaksud paha? Atau lebih jauh? Aku tak berani menafsir, tapi tubuhku sudah menjawab—telapak tangan bergerak naik menyusuri betis, melintasi lekukan lutut, sampai akhirnya menyentuh paha belakangnya.
Kulit.
Ya Tuhan, kulitnya.
Selembar sutra yang dihangatkan matahari, terlalu sempurna untuk dunia yang fana. Aku membayangkan lalat terjatuh dari paha itu—tergelincir oleh kehalusan yang tak manusiawi. Jari-jariku gemetar, bukan dari kelelahan, tapi dari usaha menahan dorongan untuk tidak mencengkeram, tidak mengklaim.
Ia diam.
Terlalu diam.
Daster tergeser lebih tinggi dengan setiap tekanan pijatanku, memperlihatkan paha yang semakin banyak—putih, montok, dengan bayangan merah jambu celana dalam yang sesekali mencuri pandang. Napasku pecah menjadi denyut-denyut pendek ketika akhirnya seluruh paha kirinya terbuka dihadapanku, bahkan sebagian pantatnya yang bulat sempurna.
"Enak," bisiknya, suara serak seperti gesekan beludru.
Aku hampir menjawab, hampir mengeluarkan pujian yang terkunci di kerongkongan. Tapi lidahku membatu, khawatir satu kata saja akan meruntuhkan kemesraan palsu ini.
"Ke atas lagi."
Kali ini tak ada keraguan.
Tanganku menyambar pantatnya melalui kain daster—meremas, menekan, menikmati cara daging itu mengisi celah jemariku. Ini bukan lagi pijatan, tapi kelaparan yang diekspresikan melalui genggaman. Aku membayangkan bagaimana bentuknya tanpa penghalang, bagaimana rasanya jika kelaminku yang mengeras ini menindih kedua bukit itu, menelusup di antara—
"Ih, geli."
Ia menggeliat, tapi tidak menjauh. Hanya mengalihkan permainan.
"Punggung sekarang," pintanya, membalikkan badan seperti membuka babak baru.
Dan aku—
Aku hanya bisa menelan ludah, menyiapkan diri untuk penyiksaan berikutnya.
"Di Ambang Batas"
Bibirnya terbuka setengah—sebuah undangan yang lebih menggoda daripada kata-kata. Aku tak tahan lagi. Kulayangkan ciuman pertama, pelan, penuh pertanyaan.
Dan dunia meledak.
Tangannya meraihku—satu mencengkeram punggung, satu lagi menenggelamkan jari-jemarinya di rambutku. Napasnya berdesah cepat, panas, membentuk kabut di antara pertemuan kulit kami. Tubuhku menindihnya, merasakan setiap lekukannya yang melengkung sempurna di bawah berat badanku.
"Ehhhmmmm—"
Suaranya getar, bukan protes, tapi pengakuan.
Kakinya terbuka, memberiku ruang. Aku menggeser pinggul, menemukan posisi sempurna di antara pahanya. Denyut nadi di selangkanganku berdebar liar menekan kain tipis yang memisahkan kami.
Ini salah.
Ini Tante. Istri Oom.
Tapi lidahnya yang hangat membungkam suara hati. Tanganku merayap ke dadanya—besar, padat, hidup di genggamanku. Dua kancing terlepas, kain daster menyerah. Kulit di balik kutangnya lebih hangat dari bayanganku, lebih lembut dari mimpi terliarku.
"Jangan di sini—"
Suaranya pecah, tapi tangannya masih mencengkeram erat.
Aku mengangkatnya—tubuhnya ringan, lentur, pas di pelukanku. Langkahku terhuyung menuju kamar, dibimbing oleh erangan kecilnya yang membuat darahku mendidih.
"Ke kamarmu saja—"
Sebelum mencapai dipan, ia meronta halus. Berdiri di samping tempat tidur, matanya berkaca-kaca, bibirnya bengkak oleh ciuman kami.
"Kunci dulu—"
Kulakukan dengan gemas. Daster jatuh, menyisakan kain sutra yang menahan rahasianya. Dadanya naik turun cepat, kutangnya nyaris tak sanggup menahan gelombang daging yang menggoda itu.
"Tante—"
Kupeluk lagi, tubuhnya meleleh di pelukanku.
"Tooo—"
Bibirnya menemukan milikku lagi, lidahnya lebih berani sekarang. Tangannya merayap ke celanaku, jemarinya menggenggam dengan penuh rasa ingin tahu.
"Eehhmmmm—"
Resleting terbuka. Udara dingin menyentuh kulit yang terbakar.
Lalu—
"Besar sekali—"
Tangannya mengukur, mempelajari, memainkan. Aku mengerang, dunia berputar.
Dan di ambang batas itu, hanya ada satu pertanyaan yang tersisa—
Seberapa jauh kita akan jatuh malam ini?
Dia menarik bibirnya perlahan, matanya berkaca-kaca menatap ke bawah.
"Besar sekali," bisiknya, napasnya membentuk kabut di udara pengap.
Tangannya—oh Tuhan—tangannya. Hangat, licin, penuh keahlian. Mengukur panjangku, mengepal dengan tekanan sempurna. Aku menggigit bibir, mencoba menahan gelombang yang sudah mengumpul di pangkal paha.
"Tante, stop... nanti aku—"
Suaraku pecah. Tanganku menahan pergelangan tangannya yang nakal. Masih terlalu dini. Masih ada sesuatu yang lebih berharga yang kuinginkan malam ini.
Kutarik tali kutangnya dengan gemas. Tali itu bandel, menolak melepaskan rahasianya. Dengan senyum kecil, dia membantuku—sebuah persetujuan diam-diam. Dan tiba-tiba, di hadapanku terbentang pemandangan yang membuat mulutku kering: sepasang payudara sempurna, putih seperti bulan purnama, dengan putik yang sudah mengeras menantang.
Tapi sebelum sempat kusentuh, tubuhnya sudah mendekapku erat. Tangannya memandu tanganku ke bawah—melewati perutnya yang rata, melewati hutan kecil yang basah, sampai jemariku menyentuh sesuatu yang hangat, lembab, dan...
"Uuuuuuhhhhhh, Tooo.."
Erangannya bergema di telinga, lebih menggugah daripada musik apa pun. Jemariku belajar dengan cepat—menggesit, menekan, menemukan ritme yang membuat tubuhnya melengkung.
Pakaian kami berjatuhan satu per satu, seperti dedaunan di musim gugur. Tubuhnya terbentang di hadapanku—sebuah mahakarya: pinggang ramping yang melengkung sempurna, paha montok yang seolah memanggil-manggil, dan di antara itu semua—
Dia menarikku ke dipan. Kakinya terbuka lebar, sebuah undangan yang tak bisa kutolak. Tangannya memandu kelaminku yang sudah keras membatu, menyapukan ujungnya ke pintu gerbang yang basah.
"Aduh—"
Meleset.
Dia tertawa kecil, lalu membimbingku lagi. Kali ini, ujungnya sudah menemukan sasarannya.
"Pelan-pelan ya, To..." bisiknya, sementara tangannya meremas pantatku, menarikku perlahan.
Dan dunia pun berhenti berputar ketika aku merasakan kehangatannya menyelimutiku perlahan—ketat, sempurna, seperti rumah yang selama ini kucari-cari.
Aku masih tak percaya—bagaimana lubang sekecil itu bisa menampung kegelisahanku yang membara? Tapi tubuh Tante membuktikan keajaiban.
"Kelaminmu besar, sih!" keluhnya, tapi kakinya justru membuka lebih lebar.
Pelan-pelan...
Separo...
Macet.
Dunia berhenti berputar.
Kemudian—
"AAAAAHHH!"
Suara kami menyatu saat separo badanku tenggelam dalam kehangatannya. Sesuatu menjepitku—ketat, membakar, sempurna.
"Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too!"
Erangannya memecah kesunyian kamar. Aku mulai menemukan ritme—tarik... dorong... gesekan yang membuat tulang belakangku bergemuruh.
Tapi kemudian—
Geli.
Geli yang tak tertahankan.
"Tahan dulu, To!"
Tapi sudah terlambat.
Aku meledak—dunia berkunang-kunang, ubun-ubun terasa terbuka, seluruh otot menegang lalu melemas dalam gemuruh kenikmatan.
"Genjot lagi, To!"
Mana mungkin.
Aku sudah hancur lebur, sementara Tante masih menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan penuh kekecewaan.
"Tooooo..."
Suaranya pecah.
Aku hanya bisa menatap kosong sementara penisku mengempis pelan di dalamnya.
Beberapa menit berlalu dalam diam.
Dan di keheningan itu, aku baru menyadari—
Betapa nikmatnya bisa terluka seperti ini.
Aku masih tak percaya. Beberapa hari lalu saat pertama kali melihat selangkangannya yang mungil, kupikir mustahil raganya bisa menampung keinginanku yang membara ini. Tapi tubuh Tante membuktikan keajaiban - lentur, elastis, seperti dibuat khusus untukku.
"Kelaminmu besar, sih!" keluhnya dengan napas tersengal, tapi justru membuka paha lebih lebar.
Pelan...
Separo...
Macet.
Dunia berhenti berputar.
Kemudian—
"AAAAAHHH!"
Suara kami menyatu saat separuh badanku tenggelam dalam kehangatannya. Rasanya seperti seluruh syarafku tersetrum - hangat, ketat, sempurna.
"Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too!"
Erangannya memecah kesunyian kamar. Aku mulai menemukan ritme sempurna - tarik... dorong... setiap gesekan mengirim gemuruh kenikmatan dari ujung penis sampai tulang ekor.
Tapi kemudian—
Geli.
Geli yang tak tertahankan.
"Tahan dulu, To!"
Tapi sudah terlambat.
Aku meledak—dunia berkunang-kunang, ubun-ubun terasa terbakar, seluruh otot menegang lalu melemas dalam gelombang kenikmatan yang mengguncang jiwa.
"Genjot lagi, To!"
Mana mungkin.
Aku sudah hancur lebur, sementara Tante masih menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan penuh kekecewaan.
"Tooooo..."
Suaranya pecah seperti kaca.
Dalam diam yang menyakitkan, aku merasakan penisku mengempis pelan di dalam kehangatannya yang masih menggoda.
Beberapa menit berlalu.
Napas kami pelan-pelan kembali teratur.
Dan di keheningan itu, sambil masih tergeletak di atasnya, aku tersadar—
Inilah momen yang akan selalu kukenang:
Pertama kali merasakan surga...
Pertama kali menjadi lelaki seutuhnya...
Dan pertama kali menyadari betapa menyedihkannya klimaks yang datang terlalu cepat.
Tante memelukku erat, mencium keningku.
"Lain kali kita coba lagi, ya To..."
Aku hanya bisa mengangguk, sambil berjanji pada diri sendiri -
Lain kali aku akan lebih kuat.
Lain kali aku akan membuatnya lebih puas.
Lain kali...
Tapi untuk sekarang, biarkan aku menikmati rasa manis sekaligus pahit dari pengalaman pertamaku ini.
#ceritadewasa #tante #kisahdewasa #ceritaindah #dewasa #tantehot #romansidewasa #ceritacinta #tantecantik #kisahnyata
0 Komentar