Melayani Gairah Tanta Clara yang Semakin Membara


Pertemuan pertama itu terasa seperti takdir yang manis. Saat perusahaanku diundang untuk mempresentasikan produk yang ingin dipesan, aku ditugaskan sebagai bagian dari tim marketing untuk menemuinya. Siang itu, aku sama sekali tidak menyangka bahwa wanita yang kutemui, Ibu Clara, adalah pemilik perusahaan yang begitu anggun dan memikat hati.

Wajahnya bagaikan lukisan indah, kulitnya seputih pualam yang memancarkan cahaya lembut. Tubuhnya tinggi dan langsing, sekitar 175 sentimeter, dengan lekuk dada yang menonjol mempesona. Pakaian ketat yang membalut pinggulnya semakin menonjolkan pinggang rampingnya, sementara lekuk tubuhnya yang montok dan kencang menambah pesona yang sulit diabaikan.

Selama pembicaraan, pikiranku kerap teralihkan oleh kecerdasannya yang memikat dan gerakan bibirnya yang sensual saat berbicara. Terutama ketika ia menunduk, belahan dadanya yang putih dan indah terlihat jelas, membuatku sulit untuk sepenuhnya fokus pada diskusi kerja.

Di sofa mewah ruangannya, kami akhirnya mencapai kesepakatan untuk mengikat kontrak kerja. Sambil menunggu sekretarisnya menyelesaikan dokumen, obrolan kami mengalir ke berbagai topik, bahkan menyentuh hal-hal pribadi yang tak terduga.

Aku memberanikan diri membuka percakapan lebih dalam karena Ibu Clara sendiri yang memulainya. Dari perbincangan itu, aku baru tahu usianya baru 25 tahun, menjabat sebagai direktur sekaligus pemilik perusahaan, menggantikan almarhum suaminya yang meninggal dalam kecelakaan pesawat.

"Pak Agus, berapa usiamu?" bisiknya dengan nada lembut dan penuh kehangatan.

"Saya 26 tahun, Bu," jawabku, berusaha tetap tenang.

"Sudah berkeluarga?" tanyanya dengan senyum yang membuat hatiku berdebar, sampai aku merasa sedikit tersanjung.

"Belum, Bu," jawabku jujur.

Tanpa aku tanya, Ibu Clara bercerita bahwa sejak kepergian suaminya setahun lalu, ia belum menemukan pengganti di hatinya.

"Ibu cantik dan muda, saya yakin seribu pria akan berlomba mendapatkan hati Ibu Clara," pujiku dengan tulus.

"Memang, ada benarnya, tapi kebanyakan hanya mengincar kekayaanku," jawabnya dengan nada rendah hati.

Tiba-tiba, suara ketukan lembut terdengar di pintu. Ibu Clara bangkit dan membuka pintu, menandakan sekretarisnya telah selesai menyiapkan kontrak.

“Kalau begitu, saya permisi pulang, Bu. Semoga kerja sama ini bisa bertahan lama dan saling menguntungkan,” ucapku sambil mengulurkan tangan, berusaha tetap profesional meski ada getaran aneh di dada.

“Semoga saja,” jawabnya pelan, tangannya menyambut uluran tanganku. Cukup lama kami bersalaman, dan aku bisa merasakan kelembutan kulit tangannya, benar-benar selembut sutra. Namun, aku buru-buru menarik tanganku kembali, takut dianggap lancang. Meski begitu, naluri laki-lakiku mulai bekerja, dan di kepalaku perlahan tersusun strategi untuk mendekatinya lebih jauh.

“Oh ya, Bu Clara, sebelum saya lupa, sebagai perkenalan dan mengawali kerja sama kita, bagaimana kalau Ibu saya undang makan malam bersama?” tanyaku, mencoba memasang ‘umpan’ dengan nada santai.

“Terima kasih,” jawabnya singkat, matanya menatapku penuh arti. “Mungkin lain waktu, saya hubungi Pak Agus untuk tawaran ini.”

“Saya tunggu, Bu. Permisi,” balasku, memilih tidak memaksanya lebih jauh. Aku pun melangkah keluar dari kantornya dengan sejuta pikiran berputar di kepala. Sepanjang perjalanan pulang, bayangan wajah cantiknya, postur tubuhnya yang ideal, dan senyum manisnya terus menghantui pikiranku. Rasanya, semua kriteria wanita idaman ada pada dirinya.

Waktu berjalan, satu bulan berlalu sejak pertemuan pertama itu. Meski aku cukup sering mampir ke kantornya dalam urusan pekerjaan, belum juga ada tanda-tanda aku bisa mengajaknya sekadar makan malam. Namun, hubungan kami jadi semakin akrab—obrolan kami semakin santai, bahkan kadang diselingi canda, dan aku mulai mengenal sisi lain dari dirinya yang hangat dan menyenangkan.

Memasuki bulan kedua, akhirnya kesempatan itu datang juga. Aku berhasil mengajaknya keluar untuk makan malam. Aku masih ingat, malam itu malam Minggu, dan kami benar-benar seperti sepasang kekasih. Awalnya, dia bersikeras ingin menggunakan mobil mewahnya, tapi akhirnya dia setuju juga naik mobil Katana milikku yang sederhana—bahkan dia sempat tertawa geli melihat betapa sederhana mobilku.

Beberapa kali malam Minggu kami habiskan bersama, dan aku semakin bingung sendiri. Hubungan kami sudah sangat dekat, bahkan sekarang kami saling memanggil nama tanpa embel-embel Pak atau Bu. Tapi, aku tetap saja hanya berani menggenggam jarinya dengan hati-hati, itu pun jantungku berdebar kencang setiap kali melakukannya. Mungkin inilah rasanya jatuh cinta yang sebenarnya—penuh harap, deg-degan, dan selalu ingin membuatnya bahagia.

Hingga malam Minggu yang kesekian kalinya, aku memberanikan diri untuk memulai, saat itu kami berada di dalam bioskop. Dalam suasana remang-remang, aku menggenggam jarinya, kuelus dengan penuh kasih, kelembutan jarinya mengalirkan desiran-desiran aneh di seluruh tubuhku. Kucoba mencium tangannya perlahan, namun tidak ada respon, sehingga kulepas jemari tangannya dengan lembut. Kurapatkan tubuhku pada tubuhnya, kupandangi wajahnya yang serius menatap layar bioskop.

Dengan keberanian yang terpaksa aku kumpulkan, kukecup pipinya. Dia terkejut, sejenak memandangku. Aku berpikir pasti dia akan marah, tetapi respon yang kuterima sungguh mengejutkan. Tiba-tiba dia memelukku, mulutnya yang mungil langsung menyambar mulutku dan melumatnya.

Beberapa detik aku tertegun, namun segera aku sadar dan membalas melumat bibirnya. Ciumannya semakin menggairahkan, lidah kami saling membelit, mencoba menjelajahi rongga mulut satu sama lain. Sementara tangannya semakin kuat mencengkeram bahuku. Aku mulai beraksi, tanganku bergerak merambat ke punggungnya, kuusap lembut punggungnya, bibirku yang terlepas menjalar ke lehernya yang jenjang dan putih, aku menggelitik belakang telinganya dengan lidahku.

“Clara, aku mencintaimu,” kubisikkan kalimat mesra di telinganya.

“Gus, aku juga mencintaimu,” suaranya sedikit mendesah menahan birahinya yang mulai bangkit.

Dan saat tanganku menyusup ke dalam blousnya, erangannya semakin jelas terdengar. Aku merasakan kelembutan buah dadanya, kenyal. Kupilin halus putingnya, sementara tanganku yang satunya menelusuri pinggangnya dan meremas-remas pinggulnya yang sangat bahenol.

Segera kubuka kancing blous bagian depannya, suasana bioskop yang gelap sangat kontras sekali dengan buah dadanya yang putih. Perlahan kukeluarkan buah dadanya dari branya, kini di depanku terpampang buah dadanya yang sangat indah, kucium dan kujilat belahannya, hidungku bersembunyi diantara belahan dadanya, lidahku yang basah dan hangat terus menciumi sekelilingnya perlahan naik hingga ke bagian putingnya.

Kuhisap pelan putingnya yang masih mungil, kugigit lembut, kudorong dengan lidahku. Clara semakin meracau. Tangannya menekan kuat kepalaku saat putingnya kuhisap agak kuat. Sementara aku merasakan gerakan di celanaku semakin kuat, senjataku sudah menegang maksimal.

Tanganku yang satunya sudah bergerak ke pahanya, spannya kutarik ke atas hingga batang pahanya tampak mulus, putih. Kubelai, kupilin pahanya sementara mulutku mengisap terus puting buah dadanya kiri dan kanan. Dan saat jariku sampai di pangkal pahanya, aku menemukan celana dalamnya. Perlahan jari-jariku masuk lewat celah celana dalamnya, kugeser ke kiri, akhirnya jari-jariku menemukan rambut kemaluannya yang sangat lebat.

Dengan tak sabar, kugosokkan jariku di klitorisnya sementara mulutku masih asyik menjilati puting buah dadanya yang semakin mencuat ke atas pertanda gairahnya sudah memuncak. Meskipun jari-jariku sedikit terhalang celana dalamnya, tapi aku masih dapat menggesek klitorisnya, bahkan dengan cepat kumasukkan jariku ke dalam celahnya yang lembab, terasa agak basah. Jariku berputar-putar di dalamnya, sampai kutemukan tonjolan lembut bergerigi di dalam kemaluannya, kutekan dengan lembut G-spotnya itu, kekiri dan kekanan perlahan.

“Achh Agus aku sudah nggak tahan. Terus Gus oh,” suaranya makin keras, birahinya sudah dipuncak.

Tangannya menekan kepalaku ke buah dadanya, membuatku kesulitan bernapas, sementara tangan lainnya menekan tanganku yang semakin dalam di kemaluannya. Akhirnya, aku merasakan seluruh tubuhnya bergetar, kuhisap kuat puting susunya, dan jariku ku masukkan semakin dalam.

“Ahh oh Gus, aku ke lu ar,” Kurasakan jariku hangat dan basah. “Makasih Gus, sudah lama aku tak merasakan kenikmatan ini.” Aku hanya bisa diam, menahan tegangnya senjataku yang belum terlampiaskan, tetapi Clara sangat pengertian. Dengan lincah, dia membuka resleting celanaku, jari-jarinya mencari senjataku.

Aku membantunya dengan sedikit menggerakkan tubuhku. Saat tangannya menemukan apa yang dicari, reaksinya sangat luar biasa. “Oh, besar sekali Gus, aku suka, aku suka barang yang besar.” Clara seperti anak kecil yang mendapatkan permen.

Senjataku yang sudah kaku perlahan dikocoknya, aku merasakan nikmat atas perlakuannya. Sementara tangannya asyik mengocok batang senjataku, tangan satunya membuka kancing bajuku, mulutnya yang basah menciumi dadaku dan menjilati putingku. Sesekali Clara menghisap putingku. Aliran darahku semakin panas, gairahku makin terbakar. Aku merasakan spermaku sudah mengumpul di ujung, sementara kepala senjataku semakin basah oleh pelumas yang keluar.

“Clara, aku sudah nggak tahan.”

“Tahan sebentar, Gus.”

Clara melepaskan jilatan lidahnya di dadaku dan langsung memasukkan senjataku ke dalam mulutnya. Aku merasakan kuluman mulutnya yang hangat dan sempit. Kulihat mulutnya yang mungil sampai sesak oleh kemaluanku. Clara semakin kuat mengocok batang senjataku ke dalam mulutnya.

Akhirnya, kakiku sedikit mengejang untuk melepaskan spermaku. “Awas Bell, aku mau keluar,” kutarik rambutnya agar menjauh dari batang senjataku, tetapi Clara malah memasukkan senjataku ke dalam mulutnya lebih dalam. Aku tak tahan lagi, kulepaskan tembakanku, tujuh kali denyutan cukup memenuhi mulutnya yang mungil dengan spermaku.

Clara menelannya dengan lahap, membersihkan sisa cairan di kepala senjataku dengan lidahnya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungku yang sempat berdebar kencang.

Setelah lampu menyala kembali, menandakan pertunjukan telah berakhir, kami sudah rapi. Kulihat jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 10:00 malam. Aku segera mengantarnya pulang, dalam perjalanan kami tidak banyak berbicara, masing-masing terbenam dalam pikiran tentang pengalaman yang baru saja kami lalui bersama.

Sesampainya di rumahnya yang megah di Pluit, ia langsung menarikku menuju kamar pribadinya yang luas. "Gus, saya belum puas, mari kita lanjutkan permainan yang tadi," ujarnya. Tangannya segera membuka kancing bajuku dan membangkitkan gairahku, sementara pikiranku semakin bingung, bagaimana Clara yang biasanya tenang bisa berubah menjadi begitu menggoda?

Namun, pikiranku tak berdaya menghadapi gairah yang mulai membara di dadaku, terutama saat tangannya dengan lihai mengusap dadaku. Seperti musafir, seluruh tubuhku dicium dan dijilati dengan penuh nafsu. Aku pun tak mau kalah, di ranjang empuknya kami bergulat, saling melilit, melumat, dan menghisap.

Saat pakaian kami mulai terlepas, kami saling bertatapan. Aku melihat kesempurnaan tubuhnya, terutama di daerah selangkangannya yang putih bersih, sangat kontras dengan bulu kemaluannya yang hitam dan lebat. Clara pun memandangi senjataku yang mengacung, menunjuk langit-langit kamar. Hanya sejenak kami bertatapan, aku segera meraih tubuhnya dan membawanya ke ranjang.

Kuletakkan tubuhnya yang gempal dan lembut dengan hati-hati, aku mulai menciumi seluruh tubuhnya, lidahku menari dari leher hingga jari-jari kakinya. Kuhisap puting buah dadanya yang kemerahan, kujilat dan sesekali kugigit mesra, sementara tanganku yang lain meremas pinggul dan pantatnya yang sangat kenyal.

Pergulatan kami semakin menggairahkan, kini posisi kami berbalik seperti angka 69, kami saling menghisap puting dada. Saat aku memainkan puting dadanya yang sudah mencuat, lidahnya menjilati putingku. Aku turun menjilati perutnya, kurasakan juga perutku dijilati dan akhirnya lidah kami saling menghisap kemaluan.

Aku merasakan hangat di kepala senjataku saat lidahku menari-nari menelusuri celah kemaluannya, lidahku semakin dalam masuk ke dalam celah kewanitaannya yang telah basah, kuhisap klitorisnya kuat-kuat, kurasakan tubuhnya bergetar hebat.

Lima belas menit sudah kami saling menghisap, nafsuku yang sudah di ubun-ubun menuntut penyelesaian. Segera aku membalikkan tubuhku. Kini kami kembali saling melumat bibir, sementara senjataku yang sudah basah oleh liurnya kuarahkan ke celah pahanya, sekuat tenaga aku mendorongnya namun sulit sekali. Tubuh kami sudah bersimbah peluh.

Akhirnya tak sabar tangan Clara memandu senjataku, setelah sampai di pintu kemaluannya, kutekan kuat, Clara membuka pahanya lebar-lebar dan senjataku melesak ke dalam kemaluannya. Kepala senjataku sudah berada di dalam celahnya, hangat dan menggigit. Kutahan pantatku, aku menikmati remasan kemaluannya di batanganku. Perlahan kutekan pantatku, senjataku amblas sedalam-dalamnya. Gigi Clara yang runcing tertancap di lenganku saat aku mulai menaikturunkan pantatku dengan gerakan teratur.

Remasan dan gigitan liang kewanitaannya di seluruh batang senjataku terasa sangat nikmat. Kubalikan tubuhnya, kini tubuh Clara menghadap ke samping. Senjataku menghujam semakin dalam, kuangkat sebelah kakinya ke pundakku. Batang senjataku amblas sampai mentok di mulut rahimnya. Puas dari samping, tanpa mencabut senjataku, kuangkat tubuhnya, dengan gerakan elastis kini aku menghajarnya dari belakang.

Tanganku mencengkeram erat bongkahan pantatnya, sementara senjataku bergerak masuk dan keluar dengan semakin cepat. Erangan dan rintihan yang samar terdengar, menambah semangatku. Ketika aku merasakan ada yang ingin keluar dari kemaluanku, segera kucabut senjataku. "Pllop" suara itu terdengar saat senjataku ditarik, mungkin karena ketatnya lubang kemaluan Clara yang mencengkeram senjataku. "Achh, kenapa Gus, aku sedikit lagi," protes Clara.

Dia langsung mendorong tubuhku, kini aku terbaring telentang di bawah, dengan sigap Clara meraih senjataku dan memasukkannya ke dalam lubang sorganya sambil berjongkok.

Kini Clara dengan buasnya menaik-turunkan pantatnya, sementara aku di bawah sudah tak sanggup menahan nikmat yang kuterima dari gerakan Clara, apalagi saat pinggulnya digoyangkan dan diputar-putar. Aku bertahan sekuat mungkin.

Satu jam telah berlalu, kulihat Clara semakin cepat bergerak, hingga akhirnya aku merasakan semburan hangat di senjataku saat tubuhnya bergetar dan mulutnya meracau panjang, "Oh aku puas Gus, sangat puas." Tubuhnya tengkurap di atas tubuhku, namun senjataku yang sudah berdenyut-denyut belum tercabut dari kemaluannya. Kurasakan buah dadanya yang montok menekan tubuhku seirama dengan tarikan nafasnya.

Setelah beberapa saat, aku merasakan air maniku tidak jadi keluar, segera kubalikkan tubuhnya kembali. Kini dengan gaya konvensional, aku mencoba meraih puncak kenikmatan, kemaluannya yang agak basah tidak mengurangi kenikmatan.

Aku terus menggerakkan tubuhku. Perlahan gairahnya kembali bangkit, terlebih saat batang senjataku mengorek-ngorek lubang kemaluannya. Kadang sedikit kuangkat pantatku agar G-spotnya tersentuh. Kini pinggul Clara yang seksi mulai bergoyang seirama dengan gerakan pantatku. Jari-jarinya yang lentik mengusap dadaku, putingku dipilin-pilinnya, hingga sensasi yang kurasakan semakin menggila.

Setengah jam telah berlalu, aku bertahan dengan cara yang konvensional. Perlahan, aku mulai merasakan cairanku kembali mengalir ke ujung kepala senjataku. Ketika gerakanku mulai tak teratur, bersamaan dengan hisapan Clara pada putingku dan pitingan kakinya di pinggangku, aku menyemprotkan air maniku ke dalam kemaluannya, dan kami merasakan orgasme bersamaan.

Sejak saat itu, kami sering melakukannya. Aku baru menyadari bahwa gairahnya sangat tinggi; selama ini dia bersikap alim, tidak mau sembarangan berhubungan dengan pria. Dia memilihku karena aku sabar, baik hati, dan tidak mengejar kekayaannya. Terlebih lagi, begitu dia mengetahui bahwa senjataku dua kali lipat dari mantan suaminya, gairahnya semakin membara.


Posting Komentar

0 Komentar